Senin, 15 Januari 2018

SEJARAH PERKEMBANGAN EJAAN DALAM BAHASA INDONESIA






SEJARAH PERKEMBANGAN EJAAN
DALAM BAHASA INDONESIA

       Keraf (1988), menyatakan bahwa ejaan merupakan keseluruhan peraturan yang menggambarkan lambang-lambang bunyi ujaran dan interelasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu bahasa. Jika disederhanakan, ejaan adalah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang telah mengalami standarisasi. Ejaan dalam Bahasa Indonesia telah banyak mengalami perubahan, ini terjadi untuk menjaga kedinamisan dalam berbahasa serta mampu untuk menjawab tantangan penggunaan bahasa yang terus berkembang. Adapun perubahaan ejaan tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Ejaan Van Ophuijsen (1901-1947)
       Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa Bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi dikalangan pegawai pribumi yang lemah dalam penguasaan Bahasa Belanda. Dengan berpedoman pada Bahasa Melayu Tinggi (yang berasal dari Bahasa Melayu Riau-Johor), sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standarisasi bahasa, diantaranya Van Ophuijen, dengan dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, akhirnya mereka berhasil menyusuan Kitab Logat Melayu pada tahun 1896, dan secara resmi ejaan ini diresmikan oleh Pemerintah Kolonial pada tahun 1901. Ejaan Van Ophuijen sendiri merupakan ejaan Bahasa Melayu dengan huruf latin.
Ciri-ciri ejaan Van Ophuijen:
a.       Huruf i dibedakan antara huruf i sebagai akhiran dan disuarakan dengan diftong, seperti mulai dan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti Soerabaia.
b.      Huruf j untuk menuliskan kata jang, pajah, sajang dan sebagainya.
c.       Huruf oe untuk menuliskan kata goeroe, itoe, oemoer dan sebagainya.
d.      Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema untuk menuliskan kata ma’moer, ‘akal, ta’, pa’ dan sebagainya.



2.      Ejaan Suwandi (1947-1972)
       Selama Kongres Bahasa Indonesia pada tahun 1938 telah disarankan agar ejaan Van Ophuijen agar lebih banyak diinternasionalkan. Tetapi dalam perkembangannya, terutama setelah Indonesia merdeka, dirasakan ada beberapa yang kurang praktis dan perlu disempurnakan. Dan pada tanggal 19 Maret 1947, Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan, Suwandi menetapkansebuah peraturan melalui SK No. 264/Bag.A/47 tentang ejaan Bahasa Indonesia, yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Suwandi. Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 sekaligus menggantikan ejaan sebelumnya.
Ciri-ciri ejaan Suwandi:
a.      Huruf oe diganti dengan huruf u, seperti pada kata guru, itu dan umur.
b.      Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan huruf k, seperti pada kata pak, tak dan rakjat.
c.       Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti pada kata anak2, ber-jalan2, dan ke-barat2-an.
d.      Awalan di- dan kata depan di, keduanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.

3.      Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia) 1966
       Kongres Bahasa Indonesia II pada tahun 1954 kembali mempersoalkan masalah ejaan. Sesuai dengan usul kongres, dibentuklah panitia dengan SK No. 448476 pada tanggal 19 Juli 1956. Pada tahun 1957, panitia berhasil merumuskan patokan-patokan baru, namun keputusan ini tidak dapat dilaksanakan karena ada usaha untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan Melayu. Pada akhir tahun 1959,  sidang perutusan Indonesia dan Melayu berhasil merumuskan sebuah konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Akan tetapi, konsep ejaan ini tidak jadi diumumkan karena perkembangan politik kemudian.

4.      Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) 1972-2015
       Pada tahun 1966, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sarino Mangunpranoto, membentuk sebuah Panitia Ejaan Bahasa Indonesia, yang bertugas menyusun konsep baru yang merangkum sebuah usaha penyempurnaan terdahulu. Akhirnya pada pada tanggal 16 Agustus 1972, diresmikanlah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) oleh Presiden Republik Indonesia melalui Putusan Presiden No. 57 Tahun 1972 dan berlaku sejak 17 Agustus 1972. Dengan adanya EYD ejaan dua Bahasa Serumpun (Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia) semakin dibakukan.
Ada beberapa hal yang mendasari lahirnya EYD, yakni :
a.       Menyesuaikan Ejaan Bahasa Indonesia dengan perkembangan Bahasa.
b.      Membina ketertiban dalam penulisan huruf dan tanda baca.
c.       Memulai usaha pembakuan Bahasa Indonesia secara menyeluruh.
d.      Mendorong pengembangan Bahasa Indonesia.
Perubahan paling penting dalam EYD adalah sebagai berikut:
No
Indonesia (Pra-1972)
Malaysia (Pra-1972)
Contoh
Sejak 1972
Contoh
1
Tj
Ch
Tjakap
C
Cakap
2
Dj
J
Djalan
J
Jalan
3
Ch
Kh
Tarich
Kh
Tarikh
4
Nj
Ny
Njonja
Ny
Nyonya
5
Sj
Sh
Sjarat
Sy
Syarat
6
J
Y
Pajung
Y
Payung

Pada tahun 1947, oe sudah digantikan dengan u, diresmikan pula huruf f pada kata maaf, fakir, huruf v pada kata valuta dan universitas, huruf z pada kata zeni, lezat dan huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksata tetap dipakai.

5.      Ejaan Bahasa Indonesia (EBI)
       EBI merupakan ejaan kelima yang digunakan dallam Bahasa Indonesia, yang berlaku sejak tanggal 25 November 2015 melalui Permendikbud No. 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
Ada beberapa penyempurnaan EYD dalam EBI, yakni:

a.       Huruf Abjad
Huruf abjad dala EYD ada 3 kolom (huruf kapital, huruf kecil dan nama), sedangkan dalam EBI ada tambahan huruf nonkapital, sehingga menjadi 4 kolom.
b.      Huruf Vokal
EYD hanya memberi contoh penambahan aksen (‘) pada kata yang ejaannya menimbulkan keraguan. EBI memperkuat penjelasan informasi pelafalan diakritik é (taling tertutup), è (taling terbuka) dan ê (pepet).
a)      Diakritik (é) dilafalkan [e]
Contoh: Anak-anak bermain di teras (téras).
b)      Diakritik (è) dilafalkan [ɛ]
Contoh: Pertahanan militer (militèr) Indonesia cukup kuat.
c)      Diakritik (ê) dilafalkan [ə]
Contoh: Pertandingan itu berakhir seri (sêri).
c.       Huruf Konsonan
Pada EYD huruf konsonan k diakhir (bapak) untuk melambangkan bunyi hamzah, EBI menghapus contoh tersebut. Selain itu ada beberapa hal perubahan dalam EBI, yakni:
1)      Penambahan huruf konsonan v dan w diakhir (molotov, takraw)
2)      Penghapusan huruf konsonan x diakhir (sinar-x), berlaku pula untuk huruf konsonan c, q dan y kecuali konsonan y dalam bentuk gabungan huruf (sy), misal asasy.
3)      Penambahan keterangan mengenai huruf x di posisi awal kata diucapkan (s)
d.      Huruf Diftong
Ada tiga huruf diftong dalam EYD, yaitu ai, au dan oi, sedangkan dalam EBI ada tambahan huruf ei, sehingga jumlahnya ada empat. Contoh penggunaan huruf ei di posisi awal (eigendom), tengah (geiser) dan akhir (survei).
e.       Huruf Kapital
Terdapat 16 kaidah penulisan huruf kapital dalam EYD, sedangkan EBI menyederhanakannya menjadi 13 kaidah dengan pengelompkkan yang lebih jelas. Ada penambahan dalam EBI, seperti penulisan untuk nama julukan (Jenderal Kancil), pembedaan nama unsur geografi yang menjadi bagian nama diri dan nama jenis, gelar lokal (Daeng, Datuk) dan penulisan bentuk penyapaan (Kutu Buku).
f.        Huruf Miring
EYD menggunakan frasa bukan Bahasa Indonesia sedang EBI menggunakan frasa bahasa daerah atau bahasa asing. Selain itu, nama diri dalam bahasa asing atau daerah tidak ditulis miring.
g.      Huruf Tebal
Ada 3 kaidah penulisan dalam EYD yakni:
1)      Menulis judul buku, bab, bagian bab, daftar isi, daftar lambang, daftar tabel, daftar pustaka, indeks dan lampiran.
2)      Menulis tema dan subtema, lambang bilangan yang menyatakan polisemi
3)      Tidak dipakai dalam cetakan untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata atau kelompok kata.
Sedangkan dalam EBI hanya terdapat 2 kaidah, yakni:
1)      Menegaskan bagian tulisan yang sudah miring (penggunaan dua kaidah, antara huruf tebal dan huruf miring)
2)      Menegaskan bagian karangan, seperti judul buku, bab atau subbab.
EBI juga menambahkan klausul bahwa huruf tebal tidak dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata atau kelompok kata dalam kalimat.
h.      Angka dan Bilangan
EBI menambahkan kaidah bilangan yang digunakan sebagai nama unsur geografi yang ditulis dengan huruf, misal Kelapadua, Rajaampat, Simpanglima, Tigaraksa.
i.        Kata Sandang si dan sang
Dalam EYD penulisan kata si dan sang di awal untuk penyebutan nama diri ditulis kapital, misal Sang Kancil, Si Buta. Sedangkan dalam EBI penulisan kapital hanya diperuntukan untuk penulisan sang yang merupakan unsur nama Tuhan (Sang Pencipta, Sang Hyang Widhi Wasa).


j.        Tanda Titik Koma (;)
Dalam EYD, tanda titik koma (;) digunakan untuk mengakhiri pernyataan perincian dalam kalimat yang berupa frasa atau kelompok kata, sebelum perincian terakhir tidak perlu menggunakan kata dan. Sedangkan EBI, tanda titik koma (;) digunakan pada akhir perincian yang berupa klausa, sebelum perincian terakhir dibubuhi kata dan.
Contoh:
Syarat penerimaan pegawai di lembaga ini adalah
1)      Berkewarganegaraan Indonesia;
2)      Berizasah sarjana;
3)      Berbadan sehat; dan
4)      Bersedia ditempatkan diseluruh Negara Kesatuan Negara Indonesia.
k.      Tanda Kurung ((...))
EYD memberikan catatan khusus dalam penulisan penjelasan kepanjangan dan singkatan didalam tanda kurung ((...)) dan lebih condong pada penulisan kepanjangannya terlebih dahulu, baru diikuti dengan singkatan dalam tanda kurung, misal kartu tanda penduduk (KTP). Sedangkan dalam EBI, tanda kurung ((...)) dipakai untuk mengapit penjelasan atau keterangan dan membenarkan penulisan kepanjangan diikuti singkatan dalam kurung atau singkatan yang diikuti kepanjangannya.
Contoh:
Kartu tanda penduduk (KTP atau KTP (kartu tanda penduduk).[1]




     [1] Yadi Mulyadi, EBI Plus, (Bandung: Yrama Widya, 2017), Cet 2, h. 1-10.

SEJARAH PERKEMBANGAN EJAAN DALAM BAHASA INDONESIA

SEJARAH PERKEMBANGAN EJAAN DALAM BAHASA INDONESIA        Keraf (1988), menyatakan bahwa ejaan merupakan keseluruhan peratura...