SEJARAH PERKEMBANGAN EJAAN
DALAM BAHASA INDONESIA
Keraf (1988), menyatakan bahwa ejaan
merupakan keseluruhan peraturan yang menggambarkan lambang-lambang bunyi ujaran dan interelasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya,
penggabungannya) dalam suatu bahasa. Jika disederhanakan,
ejaan adalah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang telah mengalami standarisasi.
Ejaan dalam Bahasa Indonesia telah banyak mengalami perubahan, ini terjadi
untuk menjaga kedinamisan dalam berbahasa serta mampu untuk menjawab tantangan
penggunaan bahasa yang
terus berkembang. Adapun perubahaan ejaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Ejaan Van Ophuijsen (1901-1947)
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda
menyadari bahwa Bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi dikalangan
pegawai pribumi yang lemah dalam penguasaan Bahasa Belanda. Dengan berpedoman
pada Bahasa Melayu Tinggi (yang berasal dari Bahasa Melayu Riau-Johor), sejumlah sarjana Belanda mulai
terlibat dalam standarisasi bahasa, diantaranya Van Ophuijen, dengan dibantu oleh Nawawi Soetan
Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, akhirnya mereka berhasil menyusuan Kitab
Logat Melayu pada tahun 1896, dan secara resmi ejaan ini diresmikan oleh Pemerintah Kolonial pada tahun 1901. Ejaan
Van Ophuijen sendiri merupakan ejaan Bahasa Melayu dengan huruf latin.
Ciri-ciri ejaan Van Ophuijen:
a.
Huruf i dibedakan antara huruf i
sebagai akhiran dan disuarakan dengan diftong, seperti mulai dan ramai. Juga
digunakan untuk menulis huruf y
seperti Soerabaia.
b.
Huruf j untuk menuliskan kata jang, pajah, sajang dan sebagainya.
c.
Huruf oe untuk menuliskan kata
goeroe, itoe, oemoer dan sebagainya.
d.
Tanda diakritik, seperti koma ain
dan tanda trema untuk menuliskan kata ma’moer,
‘akal, ta’, pa’ dan sebagainya.
2.
Ejaan Suwandi (1947-1972)
Selama Kongres Bahasa Indonesia pada tahun 1938 telah
disarankan agar ejaan Van Ophuijen agar lebih banyak diinternasionalkan. Tetapi
dalam perkembangannya, terutama setelah Indonesia merdeka, dirasakan ada
beberapa yang kurang praktis dan perlu disempurnakan. Dan pada tanggal 19 Maret
1947, Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan, Suwandi menetapkansebuah
peraturan melalui SK No. 264/Bag.A/47 tentang ejaan Bahasa Indonesia, yang
kemudian dikenal dengan nama Ejaan Suwandi. Ejaan ini diresmikan pada tanggal
19 Maret 1947 sekaligus menggantikan ejaan sebelumnya.
Ciri-ciri ejaan Suwandi:
a. Huruf oe diganti dengan huruf u,
seperti pada kata guru, itu dan umur.
b.
Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan huruf k, seperti pada kata pak, tak
dan rakjat.
c.
Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti pada kata anak2, ber-jalan2, dan ke-barat2-an.
d.
Awalan di- dan kata depan di, keduanya ditulis serangkai dengan
kata yang mendampinginya.
3.
Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia) 1966
Kongres Bahasa Indonesia II pada tahun
1954 kembali mempersoalkan masalah ejaan. Sesuai dengan usul kongres,
dibentuklah panitia dengan SK No. 448476 pada tanggal 19 Juli 1956. Pada tahun
1957, panitia berhasil merumuskan patokan-patokan baru, namun keputusan ini
tidak dapat dilaksanakan karena ada usaha untuk mempersamakan ejaan Indonesia
dan Melayu. Pada akhir tahun 1959, sidang
perutusan Indonesia dan Melayu berhasil merumuskan sebuah konsep ejaan bersama
yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Akan
tetapi, konsep ejaan ini tidak jadi diumumkan karena perkembangan politik
kemudian.
4.
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) 1972-2015
Pada tahun 1966, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sarino Mangunpranoto,
membentuk sebuah Panitia Ejaan Bahasa Indonesia, yang bertugas menyusun konsep
baru yang merangkum sebuah usaha penyempurnaan terdahulu. Akhirnya pada pada
tanggal 16 Agustus 1972, diresmikanlah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) oleh
Presiden Republik Indonesia melalui Putusan Presiden No. 57 Tahun 1972 dan
berlaku sejak 17 Agustus 1972. Dengan adanya EYD ejaan dua Bahasa Serumpun
(Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia) semakin dibakukan.
Ada beberapa hal yang
mendasari lahirnya EYD, yakni :
a.
Menyesuaikan Ejaan Bahasa Indonesia dengan perkembangan Bahasa.
b.
Membina ketertiban dalam penulisan huruf dan tanda baca.
c.
Memulai usaha pembakuan Bahasa Indonesia secara menyeluruh.
d.
Mendorong pengembangan Bahasa Indonesia.
Perubahan paling
penting dalam EYD adalah sebagai berikut:
No
|
Indonesia
(Pra-1972)
|
Malaysia (Pra-1972)
|
Contoh
|
Sejak 1972
|
Contoh
|
1
|
Tj
|
Ch
|
Tjakap
|
C
|
Cakap
|
2
|
Dj
|
J
|
Djalan
|
J
|
Jalan
|
3
|
Ch
|
Kh
|
Tarich
|
Kh
|
Tarikh
|
4
|
Nj
|
Ny
|
Njonja
|
Ny
|
Nyonya
|
5
|
Sj
|
Sh
|
Sjarat
|
Sy
|
Syarat
|
6
|
J
|
Y
|
Pajung
|
Y
|
Payung
|
Pada tahun 1947, oe sudah digantikan dengan u, diresmikan pula huruf f pada kata maaf, fakir, huruf v pada
kata valuta dan universitas, huruf z pada
kata zeni, lezat dan huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksata tetap dipakai.
5.
Ejaan Bahasa Indonesia (EBI)
EBI merupakan ejaan kelima yang
digunakan dallam Bahasa Indonesia, yang berlaku sejak tanggal 25 November 2015
melalui Permendikbud No. 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia.
Ada beberapa penyempurnaan EYD
dalam EBI, yakni:
a.
Huruf Abjad
Huruf abjad dala EYD ada 3 kolom (huruf kapital, huruf kecil dan nama),
sedangkan dalam EBI ada tambahan huruf nonkapital, sehingga menjadi 4 kolom.
b.
Huruf Vokal
EYD hanya memberi contoh penambahan aksen (‘) pada kata
yang ejaannya menimbulkan keraguan. EBI memperkuat penjelasan informasi
pelafalan diakritik é (taling tertutup), è (taling terbuka) dan ê (pepet).
a)
Diakritik (é) dilafalkan [e]
Contoh: Anak-anak bermain di teras (téras).
b)
Diakritik (è) dilafalkan [ɛ]
Contoh: Pertahanan militer
(militèr) Indonesia cukup kuat.
c)
Diakritik (ê) dilafalkan [ə]
Contoh: Pertandingan itu berakhir seri (sêri).
c.
Huruf Konsonan
Pada EYD huruf konsonan k diakhir (bapak) untuk melambangkan bunyi hamzah, EBI menghapus
contoh tersebut. Selain itu ada beberapa hal perubahan dalam EBI, yakni:
1)
Penambahan huruf konsonan v dan w diakhir (molotov, takraw)
2)
Penghapusan huruf konsonan x diakhir (sinar-x),
berlaku pula untuk huruf konsonan c, q
dan y kecuali konsonan y dalam bentuk gabungan huruf (sy), misal asasy.
3)
Penambahan keterangan mengenai huruf x di posisi awal kata diucapkan (s)
d.
Huruf Diftong
Ada tiga huruf diftong dalam EYD, yaitu ai, au dan oi, sedangkan dalam EBI ada tambahan huruf ei, sehingga jumlahnya ada empat. Contoh penggunaan huruf ei di posisi awal (eigendom), tengah (geiser)
dan akhir (survei).
e.
Huruf Kapital
Terdapat 16 kaidah penulisan huruf kapital dalam EYD,
sedangkan EBI menyederhanakannya menjadi 13 kaidah dengan pengelompkkan yang
lebih jelas. Ada penambahan dalam EBI, seperti penulisan untuk nama julukan (Jenderal Kancil), pembedaan nama unsur
geografi yang menjadi bagian nama diri dan nama jenis, gelar lokal (Daeng, Datuk) dan penulisan bentuk
penyapaan (Kutu Buku).
f.
Huruf Miring
EYD menggunakan frasa
bukan Bahasa Indonesia sedang EBI menggunakan frasa bahasa daerah atau bahasa
asing. Selain itu, nama diri dalam bahasa asing atau daerah tidak ditulis
miring.
g.
Huruf Tebal
Ada 3 kaidah penulisan dalam EYD yakni:
1)
Menulis judul buku, bab, bagian bab, daftar isi, daftar
lambang, daftar tabel, daftar pustaka, indeks dan lampiran.
2)
Menulis tema dan subtema, lambang bilangan yang
menyatakan polisemi
3)
Tidak dipakai dalam cetakan untuk menegaskan atau
mengkhususkan huruf, bagian kata, kata atau kelompok kata.
Sedangkan dalam EBI hanya terdapat 2 kaidah, yakni:
1)
Menegaskan bagian tulisan yang sudah miring (penggunaan dua
kaidah, antara huruf tebal dan huruf miring)
2)
Menegaskan bagian karangan, seperti judul buku, bab atau
subbab.
EBI
juga menambahkan klausul bahwa huruf tebal tidak dipakai untuk menegaskan atau
mengkhususkan huruf, bagian kata, kata atau kelompok kata dalam kalimat.
h.
Angka dan Bilangan
EBI menambahkan kaidah bilangan yang digunakan sebagai
nama unsur geografi yang ditulis dengan huruf, misal Kelapadua, Rajaampat, Simpanglima, Tigaraksa.
i.
Kata Sandang si
dan sang
Dalam EYD penulisan kata si dan sang di awal untuk
penyebutan nama diri ditulis kapital, misal Sang
Kancil, Si Buta. Sedangkan dalam EBI penulisan kapital hanya diperuntukan
untuk penulisan sang yang merupakan
unsur nama Tuhan (Sang Pencipta, Sang
Hyang Widhi Wasa).
j.
Tanda Titik Koma (;)
Dalam EYD, tanda titik koma (;) digunakan untuk
mengakhiri pernyataan perincian dalam kalimat yang berupa frasa atau kelompok
kata, sebelum perincian terakhir tidak perlu menggunakan kata dan. Sedangkan
EBI, tanda titik koma (;) digunakan pada akhir perincian yang berupa klausa,
sebelum perincian terakhir dibubuhi kata dan.
Contoh:
Syarat penerimaan pegawai di lembaga ini adalah
1)
Berkewarganegaraan Indonesia;
2)
Berizasah sarjana;
3)
Berbadan sehat; dan
4)
Bersedia ditempatkan diseluruh Negara Kesatuan Negara
Indonesia.
k.
Tanda Kurung ((...))
EYD memberikan catatan khusus dalam penulisan penjelasan
kepanjangan dan singkatan didalam tanda kurung ((...)) dan lebih condong pada
penulisan kepanjangannya terlebih dahulu, baru diikuti dengan singkatan dalam
tanda kurung, misal kartu tanda penduduk (KTP). Sedangkan dalam EBI, tanda
kurung ((...)) dipakai untuk mengapit penjelasan atau keterangan dan
membenarkan penulisan kepanjangan diikuti singkatan dalam kurung atau singkatan
yang diikuti kepanjangannya.
Contoh:
Kartu tanda penduduk (KTP atau KTP (kartu tanda
penduduk).[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar