Jumat, 07 April 2017

Sayyidah Robiah Al-Adawiyah








Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu al-Khair bin Isma’il al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Lahir di Basrah Iraq, diperkirakan pada tahun 95 H. Rabi’ah al-Adawiyah termasuk dalam suku Atiq yang silsilahnya kembali pada nabi Nuh AS. Ia diberi nama Rabi’ah yang berarti putri keempat karena orang tuanya telah memiliki tiga orang putri sebelumnya.
Pada malam kelahirannya, sang ayah merasa sangat sedih karena tidak mempunyai suatu apapun untuk menghormati kehadiran putrinya yang baru itu. Bahkan minyak untuk menyalakan lampu pun tidak ada. Malam itu sang ayah bermimpi kedatangan Nabi Muhammad SAW dan mengatakan kepadanya agar jangan bersedih karena putrinya kelak akan menjadi seorang wanita yang agung dan mulia. Rabi’ah al-Adawiyah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang saleh yang penuh zuhud. Seperti anak-anak sebayanya Rabi’ah al-Adawiyah tumbuh dan dewasa secara wajar. Yang menonjol darinya ialah ia kelihatan cerdik dan lincah daripada kawan-kawannya.
            Tampak juga dalam dirinya pancaraan sinar ketakwaan dan ketaatan yang tiada dimiliki oleh teman-temannya. Ia juga juga memiliki keistimewaan lain yaitu kekuatan daya ingatnya yang telah dibuktikan dengan kemampuannya menghafal al-Quran saat usianya 10 tahun. Masa remaja Rabi’ah al-Adawiyah dilalui tanpa kedua orang tuanya, karena mereka telah meninggal dunia pada saat ia beranjak dewasa. Hal itu menyebabkan kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah dan kakak-kakaknya semakin parah kondisinya sehingga memaksa mereka untuk meninggalkan gubuknya.
Rabi’ah al-Adawiyah dan semua saudaranya terpencar satu sama lain. Mereka berkelana ke berbagai daerah untuk mencari penghidupan. Dalam pengembaraan ini, Rabi’ah al-Adawiyah jatuh ke tangan perampok dan dijual sebagai hamba sahaya dengan harga yang murah, yaitu sebesar 6 dirham. Kehidupan dalam belenggu perbudakan telah mengisi lembar hidup Rabi’ah al-Adawiyah. Tuan majikannya memperlakukannya dengan sangat bengis dan tanpa peri-kemanusiaan. Tetapi Rabi’ah al-Adawiyah menjalaninya dengan sabar dan tabah. Shalat malam tetap dilakukannya dengan rutin, lisannya tidak pernah berhenti berdzikir, istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkannya.
Dan pada suatu malam, tuan majikannya mendengar rintihannya dan doanya. Hal ini sangat menyentuh hatinya hingga akhirnya ia pun memerdekakannya. Setelah merdeka, kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah tetap lurus dalam jalan dan petunjuk AllahSWT. Dengan kebebasan yang diperolehnya, ia curahkan hidupnya di masjid-masjid dan tempat-tempat pengajian agama. Ia kemudian menjalani kehidupan sufi dengan beribadah dan merenungi hakikat hidup. Tidak ada sesuatupun yang memalingkan hidupnya dari mengingat Allah SWT.
Rabiah al-Adawiyah adalah seorang wanita yang alim, ahli ibadah hidup pada masa ke khalifahan bani Abbasyiyah. Kecantikan parasnya menjadikan banyak lelaki tertarik dan berharap dapat menjadi istrinya. Di lain waktu, datanglah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang amir Abbasyiyah dari tanah Basrah dengan maksud untuk meminangnya pula. Untuk menarik hati Rabiah, ia memberi iming-iming mahar perkawinan sebesar seratus ribu Dinar dan menjanjikan sepuluh ribu Dinar setiap bulan dari pendapatannya. Namun bagaimana sikap Rabi’ah al-Adawiyah ? Apakah dia menerima pinangan Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi ? Yang terjadi justru Rabi’ah al-Adawiyah berkata :

 " Sungguh, aku tidak merasa senang jika engkau menjadi budakku
dan semua yang engkau miliki kau serahkan kepadaku,
atau engkau akan menarik kecintaanku kepada Allah meskipun hanya sebentar."

Dan tawaran pinangan terakhir untuk Rabi’ah al-Adawiyah datang dari gurunya sendiri, Al-Imam Hasan al-Bashri seorang ulama besar di zamannya. Rabi’ah al-Adawiyah setuju, tapi dengan mengajukan syarat. Syaratnya adalah apabila Al-Imam Hasan al-Bashri dapat menjawab empat pertanyaan Rabi’ah al-Adawiyah dengan benar, maka akan diterima pinangan itu.
Rabi’ah al-Adawiyah berkata, : " Apakah kesaksian yang akan di berikan orang-orang saat menjelang pemakamanku ketika aku mati nanti ? Akankah mereka bersaksi aku mati dalam keadaan Islam atau murtad ?"
Al-Imam Hasan al-Bashri menjawab : “Wallahu a'lam....”
Rabi’ah al-Adawiyah bertanya lagi, : "Ketika dalam kubur nanti Malaikat Munkar-Nakir menanyaiku "Siapa
Tuhanmu ?", dapatkah aku menjawabnya ?
Al-Imam Hasan al-Bashri menjawab lagi : “Wallahu a'lam.”
Rabi’ah al-Adawiyah bertanya lagi, : "Ketika semua manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar pada Yaumul Hisab nanti, semua orang akan menerima buku catatan amal dari tangan kanan dan kiri, (Orang  mukmin menerima buku catatan amal dari tangan  kanan,sedangkan orang kafir menerima buku catatan amal dari tangan kiri ) bagaimana denganku ? Akankah buku catatan amalku kuterima dengan tangan kananku ?.”
Al-Imam Hasan al-Bashri pun menjawab,   “Wallahu a'lam.”
Rabi’ah al-Adawiyah bertanya lagi :  "Di Hari Perhitungan nanti, Sebagian orang akan di masukkan ke Surga dan sebagian ke Neraka, bagaimana denganku ?.”
Al-Imam Hasan al-Bashri pun lagi-lagi menjawab dengan jawaban  : “Wallahu a'lam....”
       Karena Al-Imam Hasan al-Bashri tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Rabi’ah al-Adawiyah, maka Al-Imam Hasan al-Bashri pun harus menerima kalau pinangannya di tolak karena Rabi’ah al-Adawiyah lebih memilih Allah SWT sebagai kekasih sejatinya. Hal menarik tentang diri Rabi’ah al-Adawiyah ialah dia menolak lamaran untuk kawin dengan alasan:
“Perkawinan itu memang perlu bagi  siapa yang mempunyai pilihan.
Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku.
Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya.
Aku tidak mempunyai apa-apa pun.”
    
       Rabi’ah al-Adawiyah seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah SWT. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah SWT semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keredhaan Allah SWT. Rabi’ah al-Adawiyah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia sentiasa meletakkan kain kapannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.Selama 30 tahun dia terus-menerus mengulangi kata-kata ini dalam sembahyangnya:
“Ya Tuhanku!
 Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu
supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku daripada-Mu.”
Di antara syairnya yang masyhur berbunyi:
“Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun,
Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun,
Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan peribadiku sekalipun,
Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.”

      Rabi’ah al-Adawiyah telah membentuk satu cara yang luar biasa di dalam mencintai Allah SWT. Dia menjadikan kecintaan pada Ilahi itu sebagai satu cara untuk membersihkan hati dan jiwa. Dia memulakan fahaman sufinya dengan menanamkan rasa takut kepada kemurkaan Allah SWT,  seperti yang pernah diucapkannya:
“Wahai Tuhanku!
Apakah Engkau akan membakar dengan api, hati yang mencintai-Mu
dan lisan yang menyebut-Mu dan hamba yang takut kepada-Mu?”
       Ketaatan dalam beribadahnya Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah SWT, bukan untuk beroleh surga Allah SWT.
Namun karena perasaan cintanya (Mahabbah) yang sangat besar hanya pada Allah SWT  semata-mata. Hal ini dapat di lihat dari kata-katanya yang terkenal ini :
     “Jika aku menyembah-Mu karena takut daripada api neraka-Mu, maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”
       Cinta yang suci murni itu lebih tinggi daripada takut dan pengharapan. Cinta yang suci murni, tidaklah mengharapkan apa-apa dan cinta murni kepada Tuhan itulah puncak ma’rifah Rabi’ah al-Adawiyah. Di antara ucapan-ucapannya yang melukiskan tentang zuhud yang dilandasi oleh cinta adalah:
“Wahai Tuhan! Apapun bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku. Berikanlah semuanya kepada musuh-musuhMu. Dan apapun yang Engkau akan berikan kepadaku kelak di akhirat, berikan saja pada teman-temanMu. Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup.”
      Tampak jelas, bahwa Cinta yang suci murni Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah SWT begitu penuh meliputi dirinya, sehingga sering membuatnya tidak sadarkan diri karena hadir bersama Allah SWT, seperti terungkap dalam lirik syairnya:
“Kujadikan Engkau teman dalam berbincang dalam kalbu.
Tubuhkupun biar berbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku berbincang selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku.”

Cintanya terdiri atas dua alasan. Pertama cinta karena kerinduan (mahabbah). Dirindui sebab Dia memang puncak segala keindahan, sehingga tidak ada lagi yang lain yang jadi buah kenangannya dan buah tuturnya, melainkan Tuhan, Allah SWT, Rabbul ‘Alamin…..
      Yang kedua yaitu keinginan dibukakan baginya hijab, selubung, yang membatas di antara dirinya dengan Dia. Itulah tujuannya, yaitu melihat Dia (musyahadah). Karena seluruh lorong hatinya telah dipenuhi cinta Ilahi, maka tidak ada lagi tempat yang kosong buat mencintai, bahkan juga buat membenci orang lain. Salah seorang ulama Al-Manawi berkata : Dalam doa-doanya, Rabi’ah al-Adawiyah menyerahkan dirinya seribu kali siang dan malam dan ketika ditanya, : “Apakah yang Anda cari dengan semua ini?” Ia menjawab : “Aku tidak mencari pengajaran. Aku mengerjakan semuanya barangkali Allah dan Nabi berkenan, dan menyampaikan kabar kepada Nabi-nabi lainnya, : ‘Lihat, ada seorang perempuan dari ummatku dan inilah karyanya’.”
     Oleh karena itu, Rabi’ah al-Adawiyah ingin mencintai Nabi SAW, damai bersamanya, ia berharap semua perempuan merasa dimuliakan dengan apa yang dilakukannya. Ia mencintai Nabi SAW dan berharap berjumpa dengan beliau pada Hari Pembalasan. Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran pria-pria yang ‘alim dan shaleh, dengan mengatakan:
“Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa.
Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada,
karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri.
Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milikNya.
Aku hidup dalam naungan firmanNya.
Akad nikah mesti diminta darinya, bukan dariku”

      Rabi’ah al-Adawiyah selalu melakukan shalat malam hingga fajar menjelang, dan ketika ia sakit, ia tidak bisa melakukan shalat malam dan akhirnya menggantinya dengan membaca Al-Quran di siang hari. Sementara tetesan air mata selalu mengiringi doa-doa yang dilantunkannya. Ia menangis bukan karena kemiskinannya atau karena ia tidak dihormati, melainkan ia menangis karena rindu akan “Kekasihnya” Allah SWT.
     Di kalangan para sufi wanita yang paling sering disebut adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Seorang wanita yang menghijabi dirinya dengan keikhlasan agama, seorang yang selalu membara oleh api cinta dan kerinduan kepada Tuhan. Seorang yang selalu terpikat oleh kecenderungannya untuk selalu dekat dengan Tuhannya dan dilumatkan oleh keagungan menyatu dengan-Nya, seorang wanita yang telah menanggalkan dirinya guna menyatu dengan Yang Agung. Ekspresi lain dari kerinduannya, yang dilakukannya yaitu, menggali kuburnya sendiri di rumah. Dan diceritakan, ia biasa berdiri di samping lubang kubur tersebut, pagi dan sore hari sambil berkata “besok engkau pasti berada di sini” kemudian ia banyak melakukan ibadah. Selama 40 tahun ia memelihara kebiasannya ini hingga wafatnya.
     Begitulah keadaan kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada-Nya. Rabi’ah al-Adawiyah berpulang ke Rahmatullah pada 135 Hijrah, yaitu ketika usianya mencapai 80 tahun.
(“Semoga Allah SWT selalu melimpahkan Rahmat dan keridhoan-Nya kepada Auliya-Nya Rabi’ah al-Adawiyah di dunia dan akhirat..Amiiin ya Robbal ‘Alamiin.”)

sumber :   
anangkatut.blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEJARAH PERKEMBANGAN EJAAN DALAM BAHASA INDONESIA

SEJARAH PERKEMBANGAN EJAAN DALAM BAHASA INDONESIA        Keraf (1988), menyatakan bahwa ejaan merupakan keseluruhan peratura...