Senin, 15 Mei 2017

Masalah dan Pendewasaan Diri






MASALAH DAN PENDEWASAAN DIRI
            Masalah mungkin hanya sebuah kata sederhana, sebuah kata yang tersusun oleh 7 kata sederhana pula. Tetapi, dibalik kesederhanaannya itu terkandung berbagai hal yang bisa mempengaruhi setiap mahluk hidup yang bernyawa. Mulai dari tumbuhan yang  tegak berdiri, hewan yang berlarian bebas di alam belantara, hingga manusia yang mempunyai akal dan pikiran yang sangat luar biasa. Dalam suatu masa tertentu,  mayoritas mahluk hidup tersebut bisa langsung bertekuk lutut dihadapannya, walau hanya karena satu atau dua masalah yang kelihatannya sepele. Bahkan ketika tidak sanggup menanggapi dan mengatasinya, sebagian diantaranya bisa mengalami gejala kegilaan atau yang biasa disebut dengan masalah kesehatan mental. Padahal jika kita bisa berpikir positif, dari suatu masalah tersebut kita bukan hanya akan mendapat kesulitan saja dalam menjalani hidup, kita juga bisa mendapatkan keuntungan daripadanya. Mungkin sebagian dari kita tidak akan percaya akan hal itu. Apakah Anda juga termasuk didalamnya ? sebenarnya kunci dari hal itu adalah ketika kita bisa berpikir positif. Iya, berpikir positif. Bukankah ketika suatu masalah bisa terselesaikan dengan baik, akan menjadi hal yang sangat kita syukuri sekali, mulai dari pikiran kita yang bisa menjadi plong, perasaan ceria yang datang bertubi-tubi sampai mood kita yang semakin meningkat. Sesungguhnya dari masalah yang kita hadapi tadi, kita bisa mendapatkan satu ilmu baru, yaitu ilmu untuk menyelesaikan masalah yang kira rasakan tadi. Selain itu juga, kita juga bisa membantu orang lain untuk menyelesaikan masalah yang sedang di deritanya, tentunya yang sama dengan yang telah kita hadapi, baik itu yang bersifat langsung atau tidak langsung. Hem,,,, seperti salah satu peribahasa mengatakan, “selalu ada berkah dibalik setiap musibah.”
            Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RisKesDes) Kemenkes tahun 2013, prevalensi gangguan mental emosionalyang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun keatas, mencapai 14 juta atau mencapai 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat mencapai 400 ribu orang atau 1,7 per 1000 penduduk. Berdasarkan riset diatas, masalah kesehatan mental bukan hal yang sangat sepele, bahkan mungkin suatu hal yang sangat genting untuk segera ditanggulangi, bukan hanya bagi masyarakat atau pemerintah saja, tetapi merupakan tanggung jawab bagi kita semua. Data diatas mungkin hanya sebagian saja dari jumlah total orang-orang yang mengidap masalah kesehatan mental, tidak menutup kemungkinan data tersebut diambil hanya dari instansi terkait yang terdata saja, semisal rumah sakit jiwa yang terdaftar secara resmi. Jika kita rata-ratakan saja dalam satu kota ada satu orang yang mengidap masalah kesehatan mental dan kita kalikan dengan jumlah kota yang ada di Indonesia, mungkin data yang dihasilkan bisa lebih banyak lagi, dan bisa jadi datanya menjadi berlipat-lipat ganda dari data yang telah dihimpun.
      Dalam buku Ilmu Jiwa Agama karangan Zakiah Daradjat, dijelaskan bahwa Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose)  dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose) dan merupakan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. Kesehatan mental juga berarti terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk melengkapi masalah-masalah yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya. Sedangkan, istilah kesehatan mental dalam Al-Qur’an dan hadist digunakan dengan berbagai kata antara lain najat (keselamatan), fawz (keberuntungan), falah (kemakmuran), dan sa’adah (kebahagiaan). Kesehatan mental dalam Islam diartikan sebagai keselamatan dunia dan akhirat dalam bentuk kebaikan dan kebahagiaan. Kesehatan mental ditandai dengan ketenangan jiwa, akhlak mulia, kesehatan dan kekuatan badan, spirirtual dengan berpegang teguh pada akidah, mendekatkan diri  kepada Allah SWT dengan menjalankan ibadah dan melakukan amal shaleh, dan menjauhkan diri dari segala keburukan yang dapat menyebabkan Allah SWT murka. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang terbebas dari kesedihan, kekangan hawa nafsu, cinta kepada Allah , terbebas dari ujub dan hasud, dan selalu menjaga diri untuk melakukan akhlak yang mulia. Ilmu jiwa dalam perkembangannya dapat meneliti dan mempelajari mekanisme jiwa, yang menimbulkan penyakit-penyakit, yang pada dasarnya bukan karena kerusakan organik pada tubuh, akan tetapi karena kondisi-kondisi jiwa, perasaan tertekan, kecewa gelisah dan sebagainya, yang umum dikenal di negara kita dengan Psikosomatik (jasmani sakit karena jiwa). Akhir-akhir ini semakin erat hubungan antara dokter-dokter (terutama dokter jiwa) dengan agama. Dimana ditemukan pula kadang-kadang penyakit itu terjadi disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan agama. Dan melalui agama juga terapi bagi kesehatan mental, dalam Islam ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya dengan zikir, zikir itu bisa membentuk hati manusia untuk mencapai ketentraman.  
Mungkin bagi saya sendiri masalah merupakan hal yang lumrah dijumpai pada setiap orang, baik masalah yang kecil sampai yang sangat besar. Bagi setiap orang kadar masalah tersebut akan berbeda menurut pemahamannya masing-masing, begitupun cara setiap orang dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi, ada yang mudah untuk menyelesaikannya, ada pula yang kesulitan untuk menyelesaikannya. Tetapi yang pasti, dalam salah satu ayat Al-Qur’an dijelaskan bahwa, “Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Dari penjabaran ayat tersebut, kita bisa beranggapan bahwa masalah yang dihadapi seseorang itu sesungguhnya bisa diselesaikan oleh orang tersebut, baik secara sendiri maupun bantuan dari orang lain. Mungkin yang paling simple dalam menyelesaikan masalah, yaitu ketika kita berusaha untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta, baik itu melalui zikir, bacaan Al-Qur’an atau amalan lain yang bisa membuat pikiran kita menjadi lebih tenang dan fokus. Atau melalui bantuan orang lain yang kompeten, baik datang kepada orang yang bijak maupun seorang psikolog yang bisa diambil pendapat dan masukannya.
Dari uarain diatas, masalah merupakan sesuatu hal yang pasti bagi setiap orang, namun kadar menurut setiap orang akan berbeda, begitu pula cara penanggulangannya pasti akan berbeda. Melalui cara berpikir secara dewasa, masalah yang dihadapi bisa terselesaikan sempurna tanpa melahirkan gejala kesehatan mental. Bahkan mendatangkan keuntungan baginya.

Karya: Fathur Rohman

Selasa, 11 April 2017

Penilaian Unjuk Kerja













MAKALAH
PENILAIAN UNJUK KERJA

Disusun untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah evaluasi pembelajaran mi
Dosen pengampu : Drs. Ahmad Hanafi, MA







Jumat, 07 April 2017

Sayyidah Robiah Al-Adawiyah








Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu al-Khair bin Isma’il al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Lahir di Basrah Iraq, diperkirakan pada tahun 95 H. Rabi’ah al-Adawiyah termasuk dalam suku Atiq yang silsilahnya kembali pada nabi Nuh AS. Ia diberi nama Rabi’ah yang berarti putri keempat karena orang tuanya telah memiliki tiga orang putri sebelumnya.
Pada malam kelahirannya, sang ayah merasa sangat sedih karena tidak mempunyai suatu apapun untuk menghormati kehadiran putrinya yang baru itu. Bahkan minyak untuk menyalakan lampu pun tidak ada. Malam itu sang ayah bermimpi kedatangan Nabi Muhammad SAW dan mengatakan kepadanya agar jangan bersedih karena putrinya kelak akan menjadi seorang wanita yang agung dan mulia. Rabi’ah al-Adawiyah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang saleh yang penuh zuhud. Seperti anak-anak sebayanya Rabi’ah al-Adawiyah tumbuh dan dewasa secara wajar. Yang menonjol darinya ialah ia kelihatan cerdik dan lincah daripada kawan-kawannya.
            Tampak juga dalam dirinya pancaraan sinar ketakwaan dan ketaatan yang tiada dimiliki oleh teman-temannya. Ia juga juga memiliki keistimewaan lain yaitu kekuatan daya ingatnya yang telah dibuktikan dengan kemampuannya menghafal al-Quran saat usianya 10 tahun. Masa remaja Rabi’ah al-Adawiyah dilalui tanpa kedua orang tuanya, karena mereka telah meninggal dunia pada saat ia beranjak dewasa. Hal itu menyebabkan kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah dan kakak-kakaknya semakin parah kondisinya sehingga memaksa mereka untuk meninggalkan gubuknya.
Rabi’ah al-Adawiyah dan semua saudaranya terpencar satu sama lain. Mereka berkelana ke berbagai daerah untuk mencari penghidupan. Dalam pengembaraan ini, Rabi’ah al-Adawiyah jatuh ke tangan perampok dan dijual sebagai hamba sahaya dengan harga yang murah, yaitu sebesar 6 dirham. Kehidupan dalam belenggu perbudakan telah mengisi lembar hidup Rabi’ah al-Adawiyah. Tuan majikannya memperlakukannya dengan sangat bengis dan tanpa peri-kemanusiaan. Tetapi Rabi’ah al-Adawiyah menjalaninya dengan sabar dan tabah. Shalat malam tetap dilakukannya dengan rutin, lisannya tidak pernah berhenti berdzikir, istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkannya.
Dan pada suatu malam, tuan majikannya mendengar rintihannya dan doanya. Hal ini sangat menyentuh hatinya hingga akhirnya ia pun memerdekakannya. Setelah merdeka, kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah tetap lurus dalam jalan dan petunjuk AllahSWT. Dengan kebebasan yang diperolehnya, ia curahkan hidupnya di masjid-masjid dan tempat-tempat pengajian agama. Ia kemudian menjalani kehidupan sufi dengan beribadah dan merenungi hakikat hidup. Tidak ada sesuatupun yang memalingkan hidupnya dari mengingat Allah SWT.
Rabiah al-Adawiyah adalah seorang wanita yang alim, ahli ibadah hidup pada masa ke khalifahan bani Abbasyiyah. Kecantikan parasnya menjadikan banyak lelaki tertarik dan berharap dapat menjadi istrinya. Di lain waktu, datanglah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang amir Abbasyiyah dari tanah Basrah dengan maksud untuk meminangnya pula. Untuk menarik hati Rabiah, ia memberi iming-iming mahar perkawinan sebesar seratus ribu Dinar dan menjanjikan sepuluh ribu Dinar setiap bulan dari pendapatannya. Namun bagaimana sikap Rabi’ah al-Adawiyah ? Apakah dia menerima pinangan Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi ? Yang terjadi justru Rabi’ah al-Adawiyah berkata :

 " Sungguh, aku tidak merasa senang jika engkau menjadi budakku
dan semua yang engkau miliki kau serahkan kepadaku,
atau engkau akan menarik kecintaanku kepada Allah meskipun hanya sebentar."

Dan tawaran pinangan terakhir untuk Rabi’ah al-Adawiyah datang dari gurunya sendiri, Al-Imam Hasan al-Bashri seorang ulama besar di zamannya. Rabi’ah al-Adawiyah setuju, tapi dengan mengajukan syarat. Syaratnya adalah apabila Al-Imam Hasan al-Bashri dapat menjawab empat pertanyaan Rabi’ah al-Adawiyah dengan benar, maka akan diterima pinangan itu.
Rabi’ah al-Adawiyah berkata, : " Apakah kesaksian yang akan di berikan orang-orang saat menjelang pemakamanku ketika aku mati nanti ? Akankah mereka bersaksi aku mati dalam keadaan Islam atau murtad ?"
Al-Imam Hasan al-Bashri menjawab : “Wallahu a'lam....”
Rabi’ah al-Adawiyah bertanya lagi, : "Ketika dalam kubur nanti Malaikat Munkar-Nakir menanyaiku "Siapa
Tuhanmu ?", dapatkah aku menjawabnya ?
Al-Imam Hasan al-Bashri menjawab lagi : “Wallahu a'lam.”
Rabi’ah al-Adawiyah bertanya lagi, : "Ketika semua manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar pada Yaumul Hisab nanti, semua orang akan menerima buku catatan amal dari tangan kanan dan kiri, (Orang  mukmin menerima buku catatan amal dari tangan  kanan,sedangkan orang kafir menerima buku catatan amal dari tangan kiri ) bagaimana denganku ? Akankah buku catatan amalku kuterima dengan tangan kananku ?.”
Al-Imam Hasan al-Bashri pun menjawab,   “Wallahu a'lam.”
Rabi’ah al-Adawiyah bertanya lagi :  "Di Hari Perhitungan nanti, Sebagian orang akan di masukkan ke Surga dan sebagian ke Neraka, bagaimana denganku ?.”
Al-Imam Hasan al-Bashri pun lagi-lagi menjawab dengan jawaban  : “Wallahu a'lam....”
       Karena Al-Imam Hasan al-Bashri tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Rabi’ah al-Adawiyah, maka Al-Imam Hasan al-Bashri pun harus menerima kalau pinangannya di tolak karena Rabi’ah al-Adawiyah lebih memilih Allah SWT sebagai kekasih sejatinya. Hal menarik tentang diri Rabi’ah al-Adawiyah ialah dia menolak lamaran untuk kawin dengan alasan:
“Perkawinan itu memang perlu bagi  siapa yang mempunyai pilihan.
Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku.
Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya.
Aku tidak mempunyai apa-apa pun.”
    
       Rabi’ah al-Adawiyah seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah SWT. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah SWT semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keredhaan Allah SWT. Rabi’ah al-Adawiyah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia sentiasa meletakkan kain kapannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.Selama 30 tahun dia terus-menerus mengulangi kata-kata ini dalam sembahyangnya:
“Ya Tuhanku!
 Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu
supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku daripada-Mu.”
Di antara syairnya yang masyhur berbunyi:
“Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun,
Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun,
Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan peribadiku sekalipun,
Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.”

      Rabi’ah al-Adawiyah telah membentuk satu cara yang luar biasa di dalam mencintai Allah SWT. Dia menjadikan kecintaan pada Ilahi itu sebagai satu cara untuk membersihkan hati dan jiwa. Dia memulakan fahaman sufinya dengan menanamkan rasa takut kepada kemurkaan Allah SWT,  seperti yang pernah diucapkannya:
“Wahai Tuhanku!
Apakah Engkau akan membakar dengan api, hati yang mencintai-Mu
dan lisan yang menyebut-Mu dan hamba yang takut kepada-Mu?”
       Ketaatan dalam beribadahnya Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah SWT, bukan untuk beroleh surga Allah SWT.
Namun karena perasaan cintanya (Mahabbah) yang sangat besar hanya pada Allah SWT  semata-mata. Hal ini dapat di lihat dari kata-katanya yang terkenal ini :
     “Jika aku menyembah-Mu karena takut daripada api neraka-Mu, maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”
       Cinta yang suci murni itu lebih tinggi daripada takut dan pengharapan. Cinta yang suci murni, tidaklah mengharapkan apa-apa dan cinta murni kepada Tuhan itulah puncak ma’rifah Rabi’ah al-Adawiyah. Di antara ucapan-ucapannya yang melukiskan tentang zuhud yang dilandasi oleh cinta adalah:
“Wahai Tuhan! Apapun bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku. Berikanlah semuanya kepada musuh-musuhMu. Dan apapun yang Engkau akan berikan kepadaku kelak di akhirat, berikan saja pada teman-temanMu. Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup.”
      Tampak jelas, bahwa Cinta yang suci murni Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah SWT begitu penuh meliputi dirinya, sehingga sering membuatnya tidak sadarkan diri karena hadir bersama Allah SWT, seperti terungkap dalam lirik syairnya:
“Kujadikan Engkau teman dalam berbincang dalam kalbu.
Tubuhkupun biar berbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku berbincang selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku.”

Cintanya terdiri atas dua alasan. Pertama cinta karena kerinduan (mahabbah). Dirindui sebab Dia memang puncak segala keindahan, sehingga tidak ada lagi yang lain yang jadi buah kenangannya dan buah tuturnya, melainkan Tuhan, Allah SWT, Rabbul ‘Alamin…..
      Yang kedua yaitu keinginan dibukakan baginya hijab, selubung, yang membatas di antara dirinya dengan Dia. Itulah tujuannya, yaitu melihat Dia (musyahadah). Karena seluruh lorong hatinya telah dipenuhi cinta Ilahi, maka tidak ada lagi tempat yang kosong buat mencintai, bahkan juga buat membenci orang lain. Salah seorang ulama Al-Manawi berkata : Dalam doa-doanya, Rabi’ah al-Adawiyah menyerahkan dirinya seribu kali siang dan malam dan ketika ditanya, : “Apakah yang Anda cari dengan semua ini?” Ia menjawab : “Aku tidak mencari pengajaran. Aku mengerjakan semuanya barangkali Allah dan Nabi berkenan, dan menyampaikan kabar kepada Nabi-nabi lainnya, : ‘Lihat, ada seorang perempuan dari ummatku dan inilah karyanya’.”
     Oleh karena itu, Rabi’ah al-Adawiyah ingin mencintai Nabi SAW, damai bersamanya, ia berharap semua perempuan merasa dimuliakan dengan apa yang dilakukannya. Ia mencintai Nabi SAW dan berharap berjumpa dengan beliau pada Hari Pembalasan. Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran pria-pria yang ‘alim dan shaleh, dengan mengatakan:
“Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa.
Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada,
karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri.
Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milikNya.
Aku hidup dalam naungan firmanNya.
Akad nikah mesti diminta darinya, bukan dariku”

      Rabi’ah al-Adawiyah selalu melakukan shalat malam hingga fajar menjelang, dan ketika ia sakit, ia tidak bisa melakukan shalat malam dan akhirnya menggantinya dengan membaca Al-Quran di siang hari. Sementara tetesan air mata selalu mengiringi doa-doa yang dilantunkannya. Ia menangis bukan karena kemiskinannya atau karena ia tidak dihormati, melainkan ia menangis karena rindu akan “Kekasihnya” Allah SWT.
     Di kalangan para sufi wanita yang paling sering disebut adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Seorang wanita yang menghijabi dirinya dengan keikhlasan agama, seorang yang selalu membara oleh api cinta dan kerinduan kepada Tuhan. Seorang yang selalu terpikat oleh kecenderungannya untuk selalu dekat dengan Tuhannya dan dilumatkan oleh keagungan menyatu dengan-Nya, seorang wanita yang telah menanggalkan dirinya guna menyatu dengan Yang Agung. Ekspresi lain dari kerinduannya, yang dilakukannya yaitu, menggali kuburnya sendiri di rumah. Dan diceritakan, ia biasa berdiri di samping lubang kubur tersebut, pagi dan sore hari sambil berkata “besok engkau pasti berada di sini” kemudian ia banyak melakukan ibadah. Selama 40 tahun ia memelihara kebiasannya ini hingga wafatnya.
     Begitulah keadaan kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada-Nya. Rabi’ah al-Adawiyah berpulang ke Rahmatullah pada 135 Hijrah, yaitu ketika usianya mencapai 80 tahun.
(“Semoga Allah SWT selalu melimpahkan Rahmat dan keridhoan-Nya kepada Auliya-Nya Rabi’ah al-Adawiyah di dunia dan akhirat..Amiiin ya Robbal ‘Alamiin.”)

sumber :   
anangkatut.blogspot.co.id

Rabu, 15 Maret 2017

Komponen Hadis (Sanad, Matan, Rawi dan Mukharrij)
















 MAKALAH
KOMPOSISI HADIS (SANAD, MATAN, RAWI,
DAN MUKHARRIJ)



Disusun untuk memenuhi tugas kelompok
 Mata kuliah Ulumul Hadis
Dosen pengampu : Agus Imam Kharomen, M.Ag







Di Susun Oleh :
·           Fathur rohman
·           Mistani
·           Masripah
·           R Nur Istiqomah
Kelas/Prodi: A/PGMI





INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA
CIREBON
2017






PEMBAHASAN

Secara struktur, hadist terdiri atas empat komponen yaitu :
a.       Sanad atau isnad (rantai penutur)
b.      Matan (redaksi hadist)
c.       Rawi
d.      Mukharij

A.    Sanad
     Sanad secara bahasa berasal dari kata sanad yang berarti penggabungan sesuatu ke sesuatu yang lain, karena didalamnya tersusun banyak nama yang tergabung dalam satu rentetan jalan. [1]
     Sedangkan secara terminologi sanad adalah rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi hadis, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasulullah. Atau bisa disimpulkan sebagai rantai penutur atau perawi hadis, mulai dari orang yang mencatat hadis dalam bukunya (kitab hadist) hingga Rasulullah. Dan sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis sampai kepada Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain sanad adalah rentetan perawi -perawi (beberapa orang) yang sampai kepada matan hadis.[2]
1.      Tinggi-Rendahnya Rangkaian Sanad
a.       Ashahhu Al-Asanid (sanad-sanad yang lebih sahih)
Para ulama seperti Imam An-Nawawi dan Ibnu Ash-Shalah tidak membenarkan menilai suatu (sanad) hadis dengan ashahhu al-asanid, atau menilai suatu (matan) hadis dengan ashahhu al-asanid, secara mutlak, yakni menyandarkan pada hal yang mutlak.
Penilaian secara ashahhu al-asanid ini hendaknya secara muqayyad, artinya dikhususkan kepada sahabat tertentu, seperti ;
Umar Ibnu Al-Khattab ra, Ibnu Umar ra, dan Abu Hurairah ra. Atau penduduk daerah tertentu, seperti ; Kota Mekkah dan Kota Madinah.
Sedangkan contoh ashahhu al-asanid yang mutlak, yaitu :
Ø  Jika menurut Imam Bukhari, yaitu Malik, Nafi’, dan Ibnu Umar ra.
Ø  Jika menurut Ahmad Bin Hambal, yaitu Az-Zuhri, Salim Bin ‘Abdillah, dan ayahnya (‘Abdillah Bin Umar)
Ø  Jiak menurut Imam An-Nasa’i, yaitu ‘Ubaidillah Ibnu ‘Abbas dan ‘Umar Bin Khattab ra.
b.      Ahsanu Al-Asanid
Hadis yang bersanad ahsanu al-asanid lebih rendah derajatnyana  daripada ashahhu al-asanid, suatu hadis dikatakan ahsanu al-asanid jika bersanad kepada :
Ø  Bahaz Bin Hakim dari Ayahnya (Hakim Bin Mu’awiyah) dari kakeknya (Mu’awiyah Bin Haidah)
Ø  Amru Bin Syu’aib dari ayahnya (Syu’aib Bin Muhammad) dari  kakeknya (Muhammad Bin Abdillah Bin’Amr Bin ‘Ash)
c.       Adh’afu Al-asanid
Adalah rangkanian sanad yang paling rendah, yang termasuk kedalam adh’afu Al-asanid yaitu :
1)      Yang Muqayyad kepada sahabat :
Ø  Abu Bakar Ashi-Shidiq ra
Ø  Abu Thalib (Ahli Al-Bait) ra
Ø  Abu Hurairah ra
2)      Yang Muqayyad kepada penduduk :
Ø  Kota Yaman
Ø  Kota Mesir
Ø  Kota Syam
2.      Jenis-jenis Sanad Hadis
a.       Sanad ‘Aliy
Sanad yang jumlah rawinya lebih sedikit dari sanad yang lain. Sanad ‘aliy terbagi menjadi 2, yaitu :
Ø  Sanad ‘aliy yang bersifat mutlak, sebuah sanad yang jumlah rawinya hingga sampai ke Rasulullah lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad yang lain.
Ø  Sanad ‘aliy yang bersifat nisbi, sebuah sanad yang jumlah rawi di dalamnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan para imam ahli hadis.
b.      Sanad Nazil
Sanad yang jumlah rawinya lebih banyak jika dibandingkan dengan sanad yang lain.

B.     Matan
Secara etimologi, matan berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya, punggung jalan (muka jalan), tanah keras yang tinggi. Adapun yang disebut matan dalam ilmu hadis adalah perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi Muhammad saw, dengan kata lain sanad adalah redaksi dari hadis. [3] Terkait dengan matan, ada 2 hal yang perlu dicermati, yaitu :
1.      Ujung sanad, apakah berujung pada Nabi Muhammad saw atau bukan
2.      Matan hadis itu sendiri dalam hubungannya dengan hadis lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-Qur’an (apakah ada yang bertolak belakang)

C.     Rawi
Kata rawi atau al-rawi dalam bahasa Arab berasal dari kata riwayat yang berarti memindahkan atau menukilkan, yakni memindahkan suatu berita dari seseorang kepada orang lain. Dalam istilah hadis al-rawi adalah orang yang meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada orang lain yang tercantum dalam buku hadis. Jadi nama-nama yang terdapat dalam sanad disebut rawi. Sebenarnya antara rawi dan sanad merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan karena sanad hadis pada setiap generasi terdiri dari beberapa perawi. Singkatnya sanad itu lebih menekankan pada mata rantai/silsilah, sedangkan rawi adalah orang yang terdapat dalam silsilah tersebut.[4]

D.    Mukharrij
Secara bahasa mukharrij berarti orang yang mengeluarkan, kaitannya dengan hadis, mukharrij adalah orang yang menukil atau mencatat hadis pada kitabnya, seperti Imam Bukhari. Atau dalam istilah lain adalah orang yang memindahkan hadis dari seorang guru kepada orang lain dan membukukannya dalam sebuah kitab hadis.[5]
Misalnya jika suatu hadis mukharij-nya Al-Bukhari berarti hadis tersebut diturunkan Al-Bukhari dalam kitabnya dengan sanadnya. Oleh karena itu, biasanya pada akhir periwayatan suatu hadis disebutkan أخرجهالبخاري  Hadis di-takhrîj oleh Al-Bukhari dan seterusnya.[6]
Contoh dari hadis yang memuat dari ketiga unsur tersebut :
حَّدَّ ثنا مُحَمَّدُ بْنُ اْلُمثَنَّى قَا لَ: حَدَّ ثَنَا عَبْدُ اْلوَهَا بِ الَّثَقِفيُّ قَا لَ : حَدّثَنَا أَيُّوْبَ عَنْ اَبِى قِلاَ بَةَ عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَا لِكٍ رَ ضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَا لَ: ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَ وَةَ الْإ يْمَا نِ, أَ نْ يَكُوْ نَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ اْلمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلآَّ لِلّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَ فَ فِى النَّاِر. (روه اه البخارى)
          
            Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Al-Mutsniy, katanya “ Telah meriwayatkan kepada kami Abdul Wahab Al-Tsaqafiy, katanya,telah meriwayatkan kepada kami Ayyub dari Qilabah dari Anas dari Nabi SAW. Bahwa beliau bersabda, ada ketiga hal, yang bila ketiganya ada pada diri seseorang, orang itu akan merasakan manisnya iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Hendaknya ia mencintai orang (lain) hanya karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan kepada neraka.” (HR. Bukhari)
            Dari hadis tersebut, dapat dilihat umumnya hadis tersebut terdiri daritiga komponen. Yaitu :
1.      Sanad
حَّدَّ ثنا مُحَمَّدُ بْنُ اْلُمثَنَّى قَا لَ: حَدَّ ثَنَا عَبْدُ اْلوَهَا بِ الَّثَقِفيُّ قَا لَ : حَدّثَنَا أَيُّوْبَ عَنْ اَبِى قِلاَ بَةَ عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَا لِكٍ رَ ضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Al-Mutsniy, katanya “ Telah meriwayatkan kepada kami Abdul Wahab Al-Tsaqafiy, katanya,telah meriwayatkan kepada kami Ayyub dari Qilabah dari Anas dari Nabi SAW.
2.      Matan
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَ وَةَ الْإ يْمَا نِ, أَ نْ يَكُوْ نَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّإِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ اْلمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلآَّ لِلّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَ فَ فِى النَّاِر
Ada ketiga hal, yang bila ketiganya ada pada diri seseorang, orang itu akan merasakan manisnya iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Hendaknya ia mencintai orang (lain) hanya karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan kepada neraka.
3.      Rawi
(روه اه البخارى)             
                   Riwayat Bukhari













KESIMPULAN

Hadist terdiri atas empat komponen yaitu :
a.       Sanad secara bahasa berasal dari kata sanad yang berarti penggabungan sesuatu ke sesuatu yang lain, karena didalamnya tersusun banyak nama yang tergabung dalam satu rentetan jalan.
b.      Adapun yang disebut matan dalam ilmu hadis adalah perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi Muhammad saw, dengan kata lain sanad adalah redaksi dari hadis.
c.       Kata rawi atau al-rawi dalam bahasa Arab berasal dari kata riwayat yang berarti memindahkan atau menukilkan, yakni memindahkan suatu berita dari seseorang kepada orang lain. Dalam istilah hadis al-rawi adalah orang yang meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada orang lain yang tercantum dalam buku hadis
d.      Secara bahasa mukharrij berarti orang yang mengeluarkan, kaitannya dengan hadis, mukharrij adalah orang yang menukil atau mencatat hadis pada kitabnya, seperti Imam Bukhari.


















DAFTAR PUSTAKA

http://islaminstituthere.blogspot.co.id/2014/12/makalah-mukharrij-hadits-dan-kitab.html
Khozin,Ahmad Abdul.Pengantar Ulumul Hadits.Cirebon:Al Islah Press.2011
Solahudin Agus dan Suryadi Agus.Ulumul Hadis.Bandung:Pustaka setia:2013










[1] Ahmad abdul khozin, pengantar ulumul hadits (Cirebon, 2011), h.12
[2] M. Agus Solahudin dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis (Bandung, 2008), h.89
[3] M. Agus Solahudin dan Agus Suryadi, (Bandung, 2008), h.97
[4] Ahmad Abdul Khozin, (Cirebon,2011),H.14
[5] Ahmad Abdul Khozin, (Cirebon,2011),H.15
[6] Islaminstituthere.Blogspot.Co.Id



SEJARAH PERKEMBANGAN EJAAN DALAM BAHASA INDONESIA

SEJARAH PERKEMBANGAN EJAAN DALAM BAHASA INDONESIA        Keraf (1988), menyatakan bahwa ejaan merupakan keseluruhan peratura...